Banyak cara mendekatkan diri dengan Tuhan. Satu di antaranya dengan whirling dervish atau sema-- tarian yang kerap diperagakan para penganut sufi atau tasawuf di berbagai kota besar, termasuk Jakarta.
Sema adalah cerita tentang sebuah tarian cinta. Kisah para penganut sufi yang ingin menyucikan jiwa demi kebahagiaan abadi.
Menariknya sema tanpa harus berada di lingkup peribadatan. Tarian ini ibarat air yang mengalir bebas, termasuk bisa dilakukan di sebuah pusat perbelanjaan.
Gerakan dalam sema sangat sederhana; para penari terus berputar dan berputar. Seperti tidak pernah berhenti. Sepintas, terlihat mudah. Tapi butuh spirit ketuhanan yang besar untuk melakukannya.
Di Jakarta, kelompok tasawuf yang mengembangkan sema tergabung dalam sebuah komunitas bernama Pondok Rumi. Dari namanya jelas, mereka memiliki panutan Jalaluddin Rumi, sufi agung dunia Islam.
Anggota Pondok Rumi bisa menebar virus cinta di mana saja. Berdakwah di lokasi yang membuat tugas mereka menjadi tak ringan. Sebab, kepentingan mereka yang datang ke mal sebagian besar tidaklah berkehendak menyimak segala macam nilai keagamaan layaknya di rumah peribadatan. Namun anggota Pondok Rumi tak peduli. Mereka tetap menari dan menari.
Bertumpu pada poros putaran, gerak tarian ini adalah cara lain untuk mendekatkan diri pada Ilahi. Tujuannya sederhana, bergerak ke arah Yang Maha Kuasa.
Biasanya, mereka tak larut sendiri. Orang-orang di sekitar pun diajak bergembira. Berputar bersama. Mencoba berbaur dengan samudera ilmu tasawuf yang boleh jadi begitu asing buat sebagian orang.
Pondok Rumi sebenarnya adalah kediaman Arief Hamdani. Di tempat inilah para penari Rumi biasanya berkumpul dan berlatih, sekaligus larut dalam samudera tasawuf.
Mereka fokus pada segala hal yang dilakukan Jalaluddin Rumi. Rumi dihayati tak cuma lewat puisi, tapi juga lewat tariannya yang membuat mereka seperti berada di alam lain.
Para penari menggunakan jubah putih yang menjadi simbol kain kafan, kain hitam yang menjadi simbol alam kubur, serta topi panjang yang melambangkan batu nisan. Namun itu semua bukanlah sekadar kain yang membungkus tubuh. Kostum dalam tarian Rumi punya nilai tentang alam hidup manusia.
Jalaluddin Rumi lahir di awal abad 13 di Balkh, kini wilayah Afghanistan. Dia putra Bahauddin Walad yang masih keturunan Abu Bakar, sahabat Rasulullah.
Sebuah riwayat menyebut, tarian ini bermula ketika seorang pandai besi membuat Rumi mulai menari. Bunyi dari pukulan besi itu membuat Rumi ekstase dan tanpa sadar melantunkan puisi-puisi mistisnya.
Isi puisinya bukanlah rapalan atau mantra para dukun. Melainkan ketakjuban pada pengalaman akan terbukanya tabir menuju Yang Maha Agung.
Untuk meraih keridaan Tuhan, Islam mengenal ibadah wajib, yakni salat lima waktu. Bagi Rumi, tarian berputar juga memiliki kedalaman yang sama seperti ibadah. Tentu tarian ini tak bisa mutlak menggantikan ibadah. Satu-satunya makna yang mendekatinya adalah tarian Rumi juga menjadi momen manusia bercengkrama dengan Tuhan melalui cinta.
Komunitas Pondok Rumi akan terus menari. Bagi mereka, menari berputar adalah jalan keluar untuk lebih mengenal Sang Maha Pencipta.
Lewat alunan musik sema yang bagian selawat atas Rasulullah, perputaran para darwis ibarat rotasi teratur jagad raya. Laksana putaran tawaf dan planet-planet yang bergerak mengelilingi matahari.
Dari perputaran seperti inilah, Rumi menuju Ilahi. Rumi tak pernah berhenti menari karena ia tak pernah berhenti mencintai Ilahi.
Pada sisi berbeda, kepenyairan Rumi sama sekali tak bersinggungan dengan filsuf seperti Plato atau Aristoteles. Puisi-puisinya juga tak menyentuh Hegel, Nietzsche, Newton, Albert Einstein, atau Stephen Hawking.
Rumi pun menafikan alam barat. Sudut pandangnya tak melihat Renaisance, revolusi industri, post modernisme, terlebih lagi tetek bengek soal demokrasi dan produk-produk hak asasi.
Seni dalam kebudayaan Islam seperti yang dipraktikkan Rumi tidaklah terjerembab ke titik terendah dan sekadar menjadi alat perjuangan kaum proletar seperti Marxisme atau komunisme.
Rumi bukanlah anak zaman. Ia agung sendirian. Ruhnya terbang merengkuh keagungan Tuhan lewat tarian. Tarian yang sejak abad ke-13 tetap abadi hingga kini. Tarian yang memulangkan jiwa tanpa melewati kematian untuk bertemu sang Ilahi.(ULF)
Sumber : Tim Potret SCTV - Liputan6.com
Post a Comment